Selasa,buah jatuh hongkong martabetoto 17 September 2024 14:48 WIB
Banda Aceh (ANTARA) - Ravianto Ramadhan dan Raviandi Ramadhan merupakan kembar bersaudara yang sama-sama berlaga di cabang olahraga panjat tebing Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatra Utara 2024.
Wajahnya mirip, perawakan sama persis, dan tingginya juga nyaris sejajar, yang bagi kebanyakan orang, mungkin sekilas tidak akan bisa menemukan perbedaan di antara mereka berdua.
Beruntung, sang adik, Raviandi, memakai kacamata untuk mengoreksi matanya yang minus sehingga bisa cukup membantu jadi pembeda penampilan mereka. Ravianto, sang kakak, sebenarnya juga mengalami mata minus, tetapi lebih memilih memakai lensa kontak.
Rupanya, mata minus memang sudah menjadi gen turunan dari orang tua mereka. Namun, ternyata tak menjadi aral sedikit pun bagi mereka berdua untuk menekuni olahraga panjat tebing. Meskipun bermata minus, mereka tetap dengan cekatan merayap di dinding panjat tebing, layaknya Spiderman, tokoh komik superhero Marvel Comics asal Negeri Paman Sam.
"Saya tidak pakai softlens. Kakak yang pakai, kalau saya lebih nyaman pakai kacamata. Mata minus ini memang (gen, red.) bawaan dari orang tua," kata Raviandi. Pernah pada suatu kejuaraan panjat tebing di Prancis, di luar dugaan Raviandi, kacamata yang dipakainya sampai miring saat menyesuaikan posisi memanjat.
Penonton yang menyaksikan perlombaan itu pun ikut tegang dan khawatir, tapi rupanya dirinya mengaku sudah terbiasa mengatasi situasi semacam itu.
"Pernah pas lomba di Prancis sampai (kacamata, red.) saya miring-miring gitu. Tapi, ya biasa aja saya ngatasinhal-hal yang tidak terduga kayak gitu," ujarnya.
Rupanya, mereka memang sudah mengenal olahraga panjat tebing yang menantang dan memacu adrenalin itu sejak kecil, bahkan sebelum memasuki usia sekolah.
Sejak usia 4 tahun
Mereka mengenal olahraga panjat tebing dari paman dan bibinya yang kebetulan pernah menjadi atlet. Namanya, Emi Zaenah dan Hendrawan, atau lebih akrab disapa bule.
Emi Zainah pernah mewakili Provinsi DKI Jakarta pada 1992--2012, dan kini memilih menjadi pelatih panjat tebing bersama sang suami.
Si kembar Ramadhan pun mereka kenalkan dengan dunia panjat tebing sejak kecil, apalagi di rumah mereka terdapat papan boulderkecil untuk berlatih.
"Sejak usia 4--5 tahun (kenal panjat tebing, red.). Di rumah tante kan ada papan bouldering yang pendek. Ya, enggak langsung suka gitu," kata Raviandi.
Lambat laun, mereka berdua melihat banyak atlet kawan dari bibi dan pamannya yang berlatih di rumah sehingga akhirnya tertarik juga berlatih hingga cinta dengan panjat tebing. Ravianto menambahkan saat ini mereka aktif berlatih di klub Tunas Sport Climbing, Pancoran, Jakarta, di bawah bimbingan langsung sang paman dan bibi.
Bahkan, paman dan bibinya pun setia mendampingi mereka saat berlomba di PON Aceh-Sumatra Utara, PON kedua yang mereka ikuti setelah PON Papua.
Kebetulan, orang tua mereka memberikan dukungan penuh terhadap pilihan hidup sebagai atlet, apalagi berbuah dengan sejumlah prestasi.
"Mereka (orang tua, red.) sangat support, apalagi sudah melihat tante jadi atlet dan sekarang melatih. Enggak ada kata lain selain support," kata putra pasangan Rachmat Setiadi dan Vera Kurniawati itu.
Dulu, diakuinya, mungkin sempat ada kekhawatiran tentang masa depan atlet, tetapi saat ini kondisinya berbeda yang membuat sang orang tua lebih mantap memberikan dukungan.
Memperkuat Papua
Ravianto dan Raviandi sama-sama lahir di Jakarta, 26 November 2002, dengan selisih 5 menit. Mereka berdua juga besar dan tinggal di Jakarta, namun sudah dua kali PON ini mereka memperkuat Papua.
Pada PON XX Papua, mereka sudah memperkuat Bumi Cendrawasih dan sukses meraih sebuah medali emas. Pada PON Aceh-Sumut, mereka menargetkan perolehan medali yang lebih banyak.
Mereka memutuskan bergabung dengan kontingen Papua sudah sejak 2018 setelah sempat tergabung di Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) DKI Jakarta.
"Sebelum PON (PON Papua, red.), kami banyak ngikutinkejuaraan nasional kelompok umur, hampir setiap tahun. Nah, kami memutuskan pindah ke Papua tahun 2018," ungkap Ravianto.
Alasan kepindahan ke Papua karena ingin lebih mengembangkan diri. Mereka merasa FPTI DKI Jakarta ketika itu lebih berpikir politis ketimbang prestasi. Terlebih lagi, orang tua mereka memberikan dukungan 100 persen atas kepindahan mereka menjadi delegasi Papua yang kian memantapkan keputusan untuk berpindah kependudukan di kartu tanda penduduk (KTP).
Meski menjadi anggota kontingen Papua, mereka sebenarnya lebih banyak berlatih di Jakarta karena bersama orang tua juga masih tinggal di Ibu Kota.
"Kami saja yang pindah domisili. Orang tua tetap di Jakarta. Untuk PON ini, kami latihannya juga di Jakarta. Karena fasilitasnya lebih lengkap dan lebih dekat juga ke Aceh," tambahnya.
Apalagi, Papua kini lebih dimekarkan dengan penambahan empat daerah otonomi baru (DOB), yakni Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
"Fasilitas penunjangnya (olahraga, red.) kan jadi terbagi-bagi provinsinya. Papua jadi enggak punya wall lagi. Dulu kan ada di Timika, tapi sekarang Timika sudah masuk Provinsi Papua Tengah," jelasnya.
Berbagi emas di podium
Di PON Aceh-Sumut, kembar bersaudara sama-sama mengikuti empat nomor lomba, yakni leadperorangan putra, leadtim putra, combine (boulder and lead) perorangan putra, dan boulderperorangan putra.
Rupanya, perjuangan mereka tak sia-sia. Mereka sukses berbagi emas di dua nomor berbeda. Ravianto di nomor combined(B&L) perorangan putra, sedangkan Raviandi sukses di nomor boulderperorangan.
Uniknya, keduanya sempat dua kali berada di satu podium. Di nomor combined(B&L) perorangan putra, Raviandi satu podium dengan sang kakak dengan menggondol perunggu.
Di nomor boulderperorangan putra, gantian Ravianto meraih medali perak sehingga berkesempatan berada satu podium dengan sang adik.
Raviandi sebelumnya juga nyaris meraih medali emas pada nomor leadperorangan putra karena perolehan nilai yang sama dengan atlet Jawa Timur Putra Tri Ramadhani, yakni 42+. Penentuan pemenang akhirnya dilakukan dengan melihat hasil di babak sebelumnya, yakni semifinal putra bercokol di peringkat kedua (40+), sedangkan Raviandi peringkat keenam dengan skor 35+ sehingga harus puas meraih medali perak.
Manager Tim Panjat Tebing Papua Sarlotha pun mengaku sudah lama melihat potensi dan kemampuan kembar bersaudara itu dalam melahap wall, khususnya di kelas lead dan boulder.
Terbukti, mereka bisa menyumbangkan masing-masing satu emas untuk Papua, dan diharapkan masih bisa menambah medali lagi di nomor leadtim putra.
Soal pengalaman berlomba, ternyata mereka nyaris selalu ikut kejuaraan dunia, seperti IFSC World Cup Jakarta 2022, IFSC WC Jepang 2022, IFSC WC Swiss 2023, dan IFSC WC Prancis 2024.
Selepas PON Aceh-Sumut, mereka langsung mengejar medali di IFSC WC seri terakhir tahun ini di Seoul, Korea Selatan, pada 2--7 Oktober mendatang.
Melihat jejak prestasi dan spirit yang dimiliki, duo "Spiderman" kembar ini bakal terus bersinar meraih prestasi dan menginspirasi generasi muda negeri ini.